Dalam mengkaji perjalanan historis umat Islam khususnya pada abad 19 dan
20 didapatkan beberapa
latar belakang terjadinya pembaharuan pendidikan Islam pada abad itu yaitu:
a)
Kondisi internal dunia pendidikan Islam pada zaman tersebut, termasuk kondisi muslim pada umumnya.
b) Terjadinya kontak antara
Islam dengan Barat.
Latar pertama: Dapat dikaji dari sejarah intelektual dan
pendidikan Islam masa awal sampai
zaman pertengahan Islam. Keberadaan institusi Pendidikan Islam sejalan dengan
kemunculan Islam itu sendiri. Institusi ini berkembang seperti kuttab dan
masjid. Bila kita mengambil pengertian kuttab adalah lembaga pendidikan dasar
yang
mengajarkan tulis baca, berhitung dan dasar-dasar agama. Mesjid adalah lembaga
pendidikan semenjak masa paling awal Islam.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari diskursus keilmuan
yang berkembang yang
mengadakan pembedaan-pembedaan pengetahuan tertentu, misalnya antara ilmu
teoritis dan praktis, ilmu yang universal (kully). Dan pembedaan yang paling
penting antara ilmu agama (al-ilmu al-syar’iyah) atau ilmu –ilmu tradisional (al-ulum al aqliyah) dengan ilmu-ilmu rasional atau sekuler (al-ulum
al-aqliyah atau ghair Syar’iyah).
Dalam Islam sesungguhnya tidak diketahui
pembedaan-pembedaan antara ilmu agama
dan ilmu profan
seperti tersebut di atas. Semua
pengetahuan dalam Islam pada akhirnya bermuara pada Allah
Swt. Namun pada prakteknya, kelompok pokok pengetahuan agama lebih mendominasi
dibanding dengan kelompok al-ulum ghair syar’iyah.
Perkembangan tradisi pemikiran terutama perspektif umat
Islam terhadap permulaan ilmu pengetahuan tersebut membawa dampak bagi dunia pendidikan Islam pada umumnya. Sehingga
institusi-institusi pendidikan Islam pada akhirnya hanya berfungsi sebagai
wadah konservasi yang tentu saja kehilangan kreasi pengembangannya.
Sebelum kehancuran theologi Mu’tazilah pada masa khalifah
Abbasiyah al- Makmun, mempelajari ilmu-ilmu umum yang bertitik tolak dari nalar
dan kajian-kajian empiris bukan sesuatu yang tidak ada dalam kurikulum Madrasah
tetapi dengan “pemakruhan” untuk tidak menyebut “pengharaman”. Penggunaan nalar
setelah runtuhnya Mu‟tazilah. Ilmu-ilmu umum yang sangat dicurigai itu
dihapuskan dari kurikulum Madrasah mereka yang cenderung dan masih berminat
kepada ilmu-ilmu umum itu, terpaksa mempelajari secara sendiri-sendiri atau
bahkan di bawah tanah, karena mereka dipandang sebagai ilmu-ilmu “subversif”
yang dapat dan akan menggugat mengganggu stabilitas doktrin sunni. Pada waktu
yang sama, sain mengalami transmisi ke dunia Barat (Eropa) yang kemudian
melahirkan revolusi industri dan membawa mereka kepada kemajuan.
Dengan demikian dapat digambarkan bahwa akar keterbelakangan dunia Islam dalam bidang
sains dan teknologi dapat dilacak dari hilangnya sains
dari tradisi
intelektual
dan pendidikan Islam. Kondisi semacam itu tidak lepas dari kondisi sosial
keagamaan masyarakat muslim
secara keseluruhan pada abad pertengahan, hilangnya pemikiran rasional dan digantikan dengan pemikiran
statis, taklid, bid’ah dan khurafat menjadi ciri dunia Islam saat itu.
Dalam kontek ke-Indonesian pembaharuan pendidikan Islam
menurut Karel A Steenbrink dilatarbelakangi oleh:
a) Faktor keinginan untuk kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits
b) Faktor semangat nasionalisme dalam melawan penjajah
c) Faktor memperkuat basis
gerakan sosial, ekonomi,
budaya dan politik
d) Faktor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Dari gambaran sejarah secara umum diketahui bahwa
pembaharuan pendidikan di Indonesia abad 19 dan 20 dipengaruhi secara kuat oleh
pemikiran dan usaha tokoh-tokoh pembaharu Timur Tengah pada akhir abad ke-19,
khususnya Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh. Kedua tokoh ini merupakan
tokoh sentral dalam menyalakan api pembaharuan pada akhir abad ke-19 di hampir
seluruh dunia Islam. Pemikiran dan usaha mereka bertumpu pada keyakinan bahwa
Islam adalah agama yang sangat mendorong penggunaan akal sehingga keharusan
ijtihad tidak pernah tertutup. Meskipun sikap politik mereka secara tegas
menunjukkan anti Barat karena praktek penjajahan yang dilakukannya terhadap
Negara-negara Islam, Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh memberi dukungan
kepada umat Islam untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang lebih luas
sebagaimana sudah dialami juga terlebih dahulu oleh sebagian besar
Negara-negara Barat. Dalam hal inilah mereka menyerukan penataan sistem
kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan termasuk pendidikan.
Gerakan Jamaluddin Al-Afgani dengan Pan Islamismenya
mempunyai dua tujuan utama yaitu membangun dunia Islam di bawah satu
pemerintahan dan mengusir penjajahan dunia Barat atas dunia Islam. Ia melihat
diantara sebab kemunduran umat Islam adalah lemahnya persaudaraan antara sesama
umat Islam. Oleh sebab itu harus dibangun solidaritas umat Islam sedunia (Pan
Islamisme) sehingga umat Islam berada dalam pemerintahan yang demokratis. Dengan cara
demikian
umat Islam akan memperoleh kemerdekaannya kembali dan penjajah Barat atas dunia
Islam dapat dienyahkan. Tentang dunia Nasrani, al-Afgani berpendapat, sekalipun mereka berlainan keturunan
dan kebangsaan, namun mereka bersatu
dalam menghadapi dunia Islam. Mereka sengaja menghalang-halangi
kebangkitan umat Islam dan apa yang dikatakan nasionalisme dan patriotisme
serta cinta tanah air bagi dunia Barat tetapi untuk dunia Islam mereka katakan
sebagai fanatisme, ekstrimisme dan chauvinisme. Oleh sebab itu tidak ada jalan
lain bagi umat Islam kecuali bersatu melawan penjajahan Barat Nasrani tersebut.
Sedangkan tujuan dari gerakan Muhammad Abduh adalah
pemurnian amal perbuatan umat Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits,
pembaharuan dalam bidang pendidikan, perumusan kembali
ajaran Islam menurut
pikiran modern serta
penolakan terhadap pengaruh Barat dan Nasrani. Muhammad Abduh menyerukan
agar umat Islam kembali kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits serta kehidupan
salaf al-soleh. Menurutnya Islam adalah ibadah dan muamalah. Dalam soal ibadah
tidak perlu dilakukan ijtihad tetapi dalam soal muamalah diperlukan
interpretasi baru sesuai dengan perubahan keadaan sekarang. Ilmu pengetahuan
modern (Barat) berdasarkan sunnatullah (hukum alam), karenanya tidak
bertentangan dengan Islam, untuk itu umat Islam perlu merombak sistem
pendidikan baik metode maupun kurikulumnya. secara berangsur-angsur menjadi lebih
terbuka menerima institusi dan gagasan Eropa. Rinkes, penasehat Belanda untuk
masyarakat pribumi dan Arab, mencatat perubahan tersebut sekitar tahun 1912
pada saat dimulainya era pergerakan.
Antara tahun 1903 dan 1915, atas inisiatif Jamiat Kheir
banyak sekolah Arab- Islam modern yang berdiri, hal ini belum pernah terjadi
sebelumnya. Sekolah ini juga menarik banyak para siswa dari masyarakat pribumi
dan mereka cenderung untuk masuk sekolah secara bergantian, hal ini terpaksa
dilakukan karena keterbatasan pengajar dan tempat. Masyarakat pribumi
memasukkan anaknya ke sekolah Arab modern dengan pertimbangan agar anak mereka
mendapatkan pendidikan modern, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kalangan
elite Arab. Pada awalnya, sebagian besar masyarakat Arab menentang inovasi
bidang pendidikan. Meskipun demikian arus sekolah yang modern terus menekan
yang lama kelamaan masyarakat dapat menerimanya dan akhirnya masyarakat Arab
menyadari pentingnya institusi ini dalam memperkuat identitas dan posisi sosial
ekonomi mereka.
Sistem pendidikan modern pada umumnya
dilaksanakan oleh pemerintah, yang pada mulanya adalah dalam rangka memenuhi tenaga-tenaga
ahli untuk kepentingan pemerintah dengan menggunakan kurikulum dan
mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Sedangkan sistem pendidikan
tradisional yang merupakan sisa- sisa dan pengembangan sistem zawiyah, ribat
atau pondok pesantren yang telah ada di kalangan masyarakat pada umumnya tetap
mempertahankan kurikulum tradisional yang hanya memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Dualisme sistem dan
pola pendidikan inilah yang selanjutnya mewarnai pendidikan Islam di semua
negara dan masyarakat Islam di zaman modern. Dualisme ini pula yang merupakan
problema pokok yang dihadapi oleh usaha pembaharuan pendidikan Islam.
Jamiat Kheir sebagai lembaga pendidikan modern pertama
mempelopori keterpaduan antara kedua sistem tersebut, dengan cara memasukkan
kurikulum ilmu pengetahuan modern ke dalam sistem pendidikan tradisional, dan
memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah-sekolah modern.
Selanjutnya perkumpulan ini menjadi contoh bagi sekolah-sekolah yang didirikan
oleh organisasi- organisasi Islam lain, sehingga sistem pendidikan tradisional
akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke sistem pendidikan modern.
Dan inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh para pemikir
pembaharuan pendidikan Islam, yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni,
sebagaimana dipelopori oleh al-Afgani, Muhammad Abduh, dan lain-lain. Sampai
sekarang proses pemaduan antara kedua sistem dan pola pendidikan Islam ini,
tampak masih berlangsung di kalangan masyarakat Islam Indonesia.
Jamiat Kheir membangun sekolah bukan semata-mata bersifat
agama tapi sekolah dasar biasa dengan kurikulum agama, berhitung, sejarah, ilmu
bumi dan bahasa pengatar Melayu. Bahasa Inggris merupakan pelajaran wajib,
pengganti bahasa Belanda. Sedangkan pelajaran bahasa Arab sangat ditekankan
sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam.
Dilihat dari pelaksanaan program pendidikannya, Jamiat
Kheir telah melakukan beberapa langkah pembaharuan dalam bidang pendidikan
Islam. Pertama, pembaharuan dalam bidang organisasi dan kelembagaan. Hal ini
tampak pada perlunya dan semacam organisasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Kelengkapan
itu semakin
jelas ketika terbentuknya yayasan pendidikan Jamiat Kheir, yang sekaligus
mengesahkan sistem pengajaran klasikal seperti bangku, papan tulis dan tentunya
ruang belajar yang menyamai kelengkapan sarana sekolah-sekolah pemerintah
ketika itu.
Kedua, pembaharuan dalam aspek kurikulum dan metode
mengajar. Saat-saat institusi pendidikan Islam masih menerapkan sistem
pengajaran pesantren dan surau, Jamiat Kheir mulai
melangkah ke sistem
pengajaran klasikal (sekolah). Kurikulum yang
digunakan merupakan perpaduan antara kurikulum sekolah pemerintah (mata
pelajaran umum) dan kurikulum agama (mata pelajaran agama). Langkah-langkah
pembaharuan pendidikan yang seperti itu pulalah pada hakikatnya yang dicetuskan
oleh Muhammad Abduh di Mesir sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar