A) Syekh Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir Hilir, ibu
bapaknya adalah orang biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada tahun
1849, tetapi ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi sekitar
tahun 1845 dan beliau wafat pada tahun 1905. Ayahnya
bernama Abduh ibn Hasan
Khairillah, silsilah keturunan dengan bangsa Turki dan ibunya mempunyai
keturunan dengan Umar bin Khatab, khalifah kedua (khulafaurrasyidin).
Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap pendidikannya,
pada tahun1862 ia dikirim oleh
ayahnya ke perguruan agama di mesjid Ahmadi yang terletak di desa Tanta. Hanya
dalam waktu enam bulan ia berhenti karena tidak mengerti apa yang diajarkan
gurunya. Setelah belajar di Tanta pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan
tinggi di Al-Azhar di Kairo, disinilah ia bertemu dengan Jamaludin Al-Afghani
dan kemudian ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani, di masa inilah ia
mulai membuat karangan untuk harian Al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan.
Pada tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan hasil yang sangat baik dan
mendapat gelar Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen Al-Azhar disamping itu
ia mengajar di Universitas Darul Ulum.
Pokok-pokok pikiran Muhammad
Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek,
yaitu:
Pertama, aspek
kebebasan, antara lain dalam usaha
memperjuangkan cita- cita
pembaharuannya, Muhammad Abduh memperkecil ruang lingkupnya, yaitu Nasionalisme
Arab saja dan menitikberatkan pada pendidikan.
Kedua, aspek
kemasyarakatan, antara lain usaha-usaha pendidikan
perlu diarahkan untuk mencintai dirinya, masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar
pendidikan seperti itu akan membawa kepada seseorang untuk mengetahui siapa dia
dan siapa yang menyertainya.
Ketiga, aspek
keagamaan, dalam masalah ini Muhammad Abduh tidak
menghendaki adanya taqlid, guna memenuhi tuntutan ini pintu ijtihad selalu
terbuka.
Dalam
artian umum ijtihad adalah upaya intelektual yang sungguh-sungguh untuk
mencapai satu pandangan tertentu tentang agama.
Keempat, aspek
pendidikan antara lain, Al-Azhar mendapatkan perhatian
perbaikan, demikian juga bahasa Arab dan pendidikan pada umumnya cukup mendapat
perhatiannya.
Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu dihidupkan dan
untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya dengan metode
pendidikan. System menghafal di luar kepala perlu diganti dengan sistem
penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.
B) Rasyid Ridha
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia
lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak
jauh dari kota Tripoli (Suria). Ia berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi
Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-sayyid depan namanya. Semasa
kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar
menulis, berhitung dan membaca Al-Qur’an
di tahun 1882, ia melanjutkan pelajaran di Al-Madrasah Al-Wataniah Al- Islamiah
(Sekolah Nasional Islam) di Tripoli.[19]
Di Madrasah ini, selain bahasa Arab diajarkan pula bahasa
Turki dan Prancis dan disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga
pengetahuan-pengetahuan modern. Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain
Al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern, tetapi
umur sekolah tersebut tidak panjang. Kemudian Rasyid Ridha meneruskan
pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli.
Pada dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda
dengan gurunya, terutama dalam
titik tolak pembaharuannya yang berpangkal dari segi keagamaan, tuntutan adanya
kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya maupun dari segi amaliyahnya.
Menurut pendapat dari Rasyid Ridha ummat Islam mundur karena tidak lagi
menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan perbuatan mereka telah
menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu sebab-sebab
yang
membawa kemunduran ummat Islam karena faham fatalisme, ajaran-ajaran tariqad
atau tasawuf yang menyeleweng semua itu membawa kemunduran ummat Islam menjadi
keterbelakangan dan menjadikan ummat tidak dinamis.
Dalam hubungannya dengan akal pikiran, Rasyid ridha
berpendapat bahwa derajat akal itu lebih tinggi akan tetapi hanya dapat
dipergunakan dalam masalah kemasyarakatan saja, tidak dapat dipergunakan dalam
masalah ibadah. Keistimewaan akal tergantung pada keistimewaan instrinsik ilmu,
artinya oleh karena ilmu itu secara instrinsik
adalah sesuatu yang istimewa, maka segala sesuatu
yang memfasilitasi pengembangan ilmu adalah juga istimewa.[20] Diantara
aktivis beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang
dinamakan dengan “al-dakwah wal irsyad” pada tahun 1912 di Kairo.
Para lulusan dari sekolah ini akan dikirim ke negeri mana
saja yang membutuhkan bantuan mereka. Kemudian melalui majalah Al-Manar ia
menjelaskan bahwa Inggris dan Prancis yang berusaha membagi-bagi daerah Arab ke
dalam kekuasaannya masing-masing. Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh
Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolute, khalifah hanya
bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan ummat Islam ke dalam satu
system pemerintahan yang tunggal karena khalifah hanya menciptakan hukum
perundang- undangan dan menjaga pelaksanaannya.
Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada diantara
nasionalisme dan kesetiaan kepada
persatuan Islam. Menurutnya paham nasionalisme bertentangan dengan paham ummat Islam
karena persatuan dalam Islam tidak mengenal perbedaan
bangsa dan bahasa. Meskipun Rasid Ridha berguru pada Muhammad Abduh tetapi
dalam hal pembaharuan mereka memiliki perbedaan. Muhammad Abduh lebih luas
pergaulannya,disamping itu penguasaan bahasa asing lebih menguasai dibanding
Rasyid Ridha.
Perbedaan antara guru dan murid tersebut sangat terlihat,
misalnya dalam hal paham-paham teologi dan juga dalam Tafsir Al-Manar,
ketika murid memberi
komentar terhadap uraian guru. Sedangkan dalam masalah teologi, Muhammad
Abduh menafsirkan ayat-ayat Mutajassimah secara filosofis rasional, sedangkan
Rasyid Ridha menafsirkan apa adanya ia tidak mentakwil.[21]
Rasyid Ridha sebagai ulama yang selalu menambah ilmu
pengetahuan dan selalu berjuang selama hayatnya, ia meninggal pada tanggal 23
Jumadil Ula 1354/ 22 Agustus 1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil
memegang Al-Qur’an ditangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar